Menakar Keekonomian Harga Gas Domestik
Menakar Keekonomian Harga Gas Domestik
Melihat besarnya kebutuhan gas bumi untuk domestik, sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) berkomitmen untuk memperbesar alokasi gas bagi pasar dalam negeri. Hanya saja, tantangan baru muncul terkait penggunaan gas di sektor domestik. Pengguna akhir, terutama dari sektor industri, menilai harga jual gas yang ditawarkan ke pasaran terlalu tinggi. Selain itu, pengguna akhir terkadang sulit mendapatkan pasokan gas.

Adanya ketidaksesuaian antara harga gas di hulu dengan di pengguna memang telah mengemuka secara nasional. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Namun apabila dicermati, harga gas di sisi hulu relatif tidak ada perubahan. Perubahan harga terjadi apabila ada tuntutan untuk memenuhi komitmen alokasi gas dan menambah pasokan gas sehingga memerlukan pengembangan lapangan baru. Konsekuensinya, harga-harga gas baru bisa lebih mahal karena ada peningkatan biaya operasi untuk produksi.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 37 Tahun 2015 menetapkan harga gas bumi berdasarkan tiga pertimbangan. Pertama, harga keekonomian lapangan. Kedua, harga gas bumi di dalam negeri dan internasional. Ketiga, nilai tambah dari pemanfaatan gas bumi di dalam negeri. Selain tiga hal tersebut, penetapan harga gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri juga mempertimbangkan kemampuan daya beli konsumen dalam negeri serta dukungan terhadap program pemerintah untuk penyediaan gas bumi bagi transportasi, rumah tangga dan pelanggan kecil.

Kepala Divisi Komersialisasi Gas Bumi SKK Migas, Sampe L. Purba, mengungkapkan keekonomian lapangan memang menjadi faktor pertimbangan utama dalam menghitung harga gas bumi di sisi hulu. Menurut Sampe, keekonomian lapangan merupakan amalgamasi dari return yang wajar untuk kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS) dan juga proyeksi bagi hasil yang akan menjadi bagian pemerintah. Selain itu, portofolio penjualan dari lapangan-lapangan yang ada, daya beli konsumen, harga yang sedang berlaku pada existing contract, serta harga energi maupun gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di pasar dunia juga menjadi faktor yang mempengaruhi.

“Secara sederhana, komersialisasi gas terjadi ketika pembeli dan penjual bertemu dan bersepakat. Kesepakatan tersebut meliputi harga jual, volume, jangka waktu, titik serah, fleksibilitas jangka waktu, volume pengambilan, dan sebagainya,” kata Sampe.

Sebagai informasi, harga jual gas di hulu saat ini berkisar antara US$4,6 hingga US$8,2 per 1 juta British Thermal Unit (MMBTU). Berdasarkan data SKK Migas, harga gas di hulu untuk wilayah Sumatera Utara sebesar US$8 per MMBTU, Riau US$4,6, Sumatera Selatan US$6,09, Jawa Barat US$4,9, Jawa Tengah US$6,91, Jawa Timur US$6,05, dan Kalimantan Timur US$8,2.

Namun ketika sampai di pengguna akhir, harga jual gas bisa naik signifikan dari harga di hulu. Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyebutkan, rata-rata harga gas yang berasal dari pipa di titik hilir sebesar US$8,77 per satu juta standar kaki kubik (MMSCF), di mana harga gas terendah mencapai US$5,50 per MMSCF dan harga gas tertinggi mencapai US$15,12 per MMSCF.

Pemerintah sendiri berupaya mencari solusi terkait permasalahan harga gas untuk industri yang dinilai tidak kompetitif dibanding negara-negara lain. Salah satu langkah nyata yang diambil pemerintah adalah dengan menurunkan harga gas untuk industri. Penurunan harga dilakukan melalui mekanisme pengurangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penjualan gas bumi di hulu. Untuk harga gas yang berkisar antara US$6-8 per MMBTU, pemerintah menurunkan harga sebesar US$0-1 per MMBTU atau sebesar 0-16 persen menjadi minimal US$6 per MMBTU. Sedangkan harga gas US$8 per MMBTU atau lebih akan diturunkan sebesar US$1-2 per MMBTU atau sebesar 12,5-25 persen menjadi minimal US$6 per MMBTU.

Harga baru untuk gas bumi di sisi hulu ini diberlakukan mulai 1 Januari 2016. Pemerintah juga menetapkan empat jenis industri yang mendapat prioritas penurunan harga, yaitu industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku seperti pabrik pupuk dan petrokimia, industri strategis, industri yang menggunakan gas dalam proses pembuatan produk, serta industri manufaktur yang mempekerjakan banyak karyawan. Sementara di sisi midstream dan hilir, pemerintah juga melakukan penurunan harga dengan menerapkan regulated margin sehingga biaya transmisi dan distribusi dapat diterapkan secara adil.

Sampe menilai, faktor yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap harga gas untuk pengguna akhir adalah biaya pada mata rantai dari titik serah di hulu hingga ke konsumen akhir. Sebagai contoh, dari total harga gas untuk pengguna akhir, sebanyak 50-57 persen merupakan komponen harga gas di hulu yang mewakili biaya dan risiko kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, jangka waktu, serta modal yang besar. Sedangkan 43-50 persen sisanya merupakan tambahan biaya yang muncul mulai sejak titik serah di hulu hingga di pengguna akhir. 

Tambahan biaya yang Desember 2015 | BUMI 7 meliputi biaya akses terminal dan regasifikasi untuk LNG, toll fee, iuran transmisi, iuran niaga, biaya distribusi, overhead dan margin, serta komponen pajak ini ditanggung oleh pengguna akhir.
“Bayangkan, besaran toll fee bisa hampir sama dengan 35 persen landed price LNG,” kata Sampe.
Sementara Kepala Sub Direktorat Pengaturan Pemanfaatan Fasilitas Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa BPH Migas, Sri Wahyu Purwanto, berpendapat tingginya harga gas di hilir disebabkan regulasi yang belum benar. Pemerintah saat ini belum mengatur harga gas di hilir. Campur tangan pemerintah hanya pada penentuan toll fee. Belum adanya regulasi yang mengatur harga gas di hilir menyebabkan munculnya trader bertingkat. Faktor inilah yang menyebabkan harga gas di hilir menjadi tinggi.
“Adanya trader bertingkat membuatharga gas di hulu bisa naik dua kali lipat ketika sudah sampai di pengguna akhir,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, Indonesia perlu menyeragamkan harga gas di hulu dan hilir, termasuk toll fee. Sebagai contoh,harga gas di hulu diseragamkan sebesar US$6,25 per MMBTU, toll fee sebesar US$0,37, dan harga gas di hilir dipatok US$8,77 per MMSCF. “Keseragaman harga gas akan meningkatkan daya beli sektor industri yang secara otomatis akan mendorong roda perekonomian,” kata Wahyu.

Sumber: http://www.skkmigas.go.id/publikasi/buletin [Kangean.Net]