Oleh : Vebra D. Hendarta

Pulau kecil pertama yang saya lihat seperti intro dalam sebuah album lagu, memberi gambaran 59 pulau kecil lainnya. Artinya, perjalanan laut sejauh 140 kilometer sudah hampir berakhir. Saya masih menyesal kenapa baru sekarang ke kepulauan Kangean yang hanya berjarak 200-an kilometer dari rumah. Juga bersyukur karena Kangean adalah aset Madura. Aset Jawa Timur juga dan yang paling penting adalah aset Indonesia.

Jika Jawa Tengah memiliki Karimun Jawa, Jawa Timur memiliki kepulauan Kangean. Namun, banyak orang Jawa Timur sendiri yang tidak tahu bahkan belum pernah mendengar kata "kangean". Meskipun secara geografis lebih dekat dengan pulau Bali atau kurang lebih 120 kilometer, Kangean termasuk propinsi Jawa Timur dan berjarak 140 kilometer dari ujung Madura. Lebih mudah bagi saya menjawab pertanyaan dari teman-teman, "Kangean itu dimana ?". Saya jawab, "Di atasnya Bali tapi kalau kesana lewat Madura, kalau ke Madura lewat Surabaya dulu". Tidak ada transportasi umum Kangean - Bali, tetapi ada Madura-Situbondo. Seperti dua teman saya yang tinggal di Singaraja dan ikut rombongan kami (13 orang), mereka melakukan perjalanan tapal kuda atau seperti huruf U: Bali - Surabaya - Madura - Kangean yang sebenarnya bisa dipersingkat, Bali - Situbondo - Sumenep (Madura timur) - Kangean.

Pukul 13.30 tepat kapal Bahari Express yang sangat cepat itu berlabuh di pulau Kangean untuk menurunkan penumpang dan membawa penumpang baru yang akan ke Pulau Sapeken, pulau terbesar kedua setelah Kangean dari 60-an pulau yang ada. Pulau Kangean adalah pulau terakhir tujuan wisata kami meskipun pulau ini yang pertama kami injak. Kami memulai wisata dari titik terjauh ke terdekat karena tidak setiap hari kapal Express maupun ekonomi berlayar. Tiket kapal kami tertulis Sapeken bukan Kangean. Lebih jauh lagi.

Dari puluhan pulau-pulau kecil yang ada di kepulauan Kangean, pulau Saebus kami pilih untuk tempat menginap di hari pertama dan kedua. Alasannya, pulau ini dekat sekali dengan pulau gosong yang terdapat kerajaan ikon nemo dengan dasar laut yang cukup landai. Sesampai di pulau Sapeken kami sudah ditunggu nelayan yang sudah kami hubungi sebelumnya untuk mengantar berkeliling selama 2 hari. Setelah kapal Bahari Ekspres sampai di tujuan akhir, pulau Sapeken, kami berganti akomodasi menggunakan perahu nelayan menuju pulau Saebus.

Di pulau Saebus, kami menyewa rumah penduduk sekaligus masakannya sehari dua kali dan kami tiba di sini ketika matahari hampir terbenam. Terdapat dua dusun, pulau ini tidak seramai pulau Sapeken apalagi Kangean. Penduduk Saebus berbahasa Kangean, Bajo (Sulawesi), Bugis dan beberapa bahasa lainnya karena memang jika kita melihat di peta, posisi Kangean hampir tepat berada di tengah-tengah Indonesia. Terletak di antara pulau Madura-Bali-Kalimantan-Sulawesi. Kepulauan ini tempat bertemunya banyak suku yang jauh dari ibukota propinsi dan sulit dijangkau sehingga pembanguan infrastruktur pun juga seadanya, tidak ada jalan beraspal, tenaga listrik menggunakan disel PLN yang hanya menyala jika hari mulai gelap sampai sesudah subuh. Menonton televisi dan mengisi batere ponsel hanya bisa dilakukan penduduk Saebus di malam hari. Sinyal dari tower-tower GSM dari pulau Sapeken masih menjangkau meskipun sering terputus. Kebutuhan lain seperti bahan bangunan mereka beli dari Buleleng, Bali, jika mereka kembali dari menjual ikan hias, dll.

Paginya kami bersiap memulai hari pertama menikmati keindahan pantai dan biota laut. Semua peralatan diving dan snorkeling kembali kami angkut ke perahu. Beruntung, nelayan yang bersama kami adalah penangkap ikan hias sehingga sangat paham titik lokasi tempat ikan berkumpul dengan arus ombak yang tidak begitu kuat. Tak sabar rasanya jangkar segera dilempar. Di titik yang direkomendasikan nelayan, kamipun berhenti di tengah laut untuk diving dan snorkeling. Setelahnya, kami menuju pulau gosong yang sebenarnya julukan untuk pulau gundul yang tidak berpenghuni dan tidak ditumbuhi tanaman, hanya pasir. Ketika yang lain baru memulai snorkeling, seperti di film kartun saja, saya menikmati kesendirian di pulau yang luasnya sekitar 50x20 meter.

Masih ingat dengan pulau Sitabok? Dulu pulau ini pernah menjadi berita nasional karena dijual ke pihak asing. Wajar saja jika banyak yang tertarik untuk mengelolanya. Letak pulau ini di sebelah tenggara pulau Kangean, juga tidak jauh dari Saebus, cuma kami tidak kesana. Di hari kedua ini kami mengunjungi lokasi berbeda yang berdekatan dengan Saebus yang sebelumnya sudah mengeksplorasi keindahan darat Saebus. Setiap kali menyelam, teman kami mendengar setidaknya 2 kali ledakan bom ikan oleh nelayan.

Sore hari di hari kedua kami menuju ujung timur pulau Kangean untuk menginap disana. Tidak ada transportasi menuju penginapan yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan, kami pun menyewa 2 mobil pikep dan menempuh perjalanan malam selama kurang lebih 1 jam di jalan beraspal yang sudah rusak parah. Di Kangean ini barulah kami menemukan warnet yang menggunakan diesel pribadi pada siang hari.

Berkunjung ke Kangean kurang rasanya jika tidak membawa pulang kerajinan kayu santeki, kayu yang memiliki cerita mitos. Tetapi yang paling terkenal dari pulau Kangean adalah ayam bekisar, yaitu jenis ayam kontes (suara) hasil kawin ayam hutan hijau dan ayam kampung. Ada teknik unik tersendiri untuk bisa mengawinkan kedua jenis unggas berbeda ukuran ini, dimana ukuran pejantan lebih kecil dari betinanya (ayam kampung). Konon, ayam bekisar bermula dari pulau ini, ayam dari hutan Kangean. Sehingga dijadikan maskot propinsi Jawa Timur.

Pulau terakhir yang kami kunjungi adalah pulau Mamburit, berdiameter 1 kilometer dan dihuni sekitar 350 keluarga dan berjarak sekitar setengah kilometer saja dari Kangean. Berbeda dengan Saebus, kebutuhan pokok di sini lebih mudah terpenuhi karena dekat dengan pulau besar, Kangean. Di pantai Mamburit kami membakar ikan bekal kami lalu berlanjut ke wisata kuliner. Yang ditawarkan mamburit adalah bakso dari daging ikan, kami menyebutnya bakso ikan. Enak sekali meskipun pertama kali mencobanya. Banyak kejutan selama berwisata tetapi tidak semuanya menyenangkan, ada lagi yang mengangetkan kami setelah bom. Kami menemukan bangkai penyu dewasa yang sudah tidak bertempurung. Mungkin penyu itu terdampar dan mati lalu diambil daging atau tempurungnya. Sosialisasi ke masyarakat perlu kiranya untuk lebih melestarikan alam, salah satunya mematikan lampu dekat pantai karena menarik perhatian penyu.

Bagi anda yang akan berkunjung ke Kangean, sebaiknya jangan memesan tiket pesawat atau kereta di waktu tertentu yang berdekatan dengan jadwal pulang dari Kangean. Ombak besar akan menjadi alasan utama, baik kapal cepat maupun kapal ekonomi untuk menunda pelayaran dan ini sering terjadi. Untuk saat ini, Kangean masih cocok untuk backpacker. Tidak ada persewaaan tabung untuk diving, backpacker pun harus mengeluarkan biaya lebih jika ingin menyelam. Semakin banyak jumlah orang dalam satu rombongan, shared cost akan lebih murah. Jika biaya dihitung mulai transportasi dari terminal Bungurasih Surabaya sampai kembali lagi dan dalam satu rombongan terdapat 10 orang (snorkeling saja), biaya total termasuk tiket kapal cepat (pulang pergi Rp. 300.000,-), penginapan, sewa perahu dan lain-lain sebesar Rp. 750.000,- per orang untuk 4 hari 4 malam. Bisa kurang jika menggunakan kapal ekonomi Rp. 35,000,- (sekali layar) dengan waktu tempuh 8 jam atau 5 jam lebih lama dari kapal Bahari Express.

Sumber :
http://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/760/Di-Atasnya-Bali--di-Timurnya-Madura