Penulis : Samsul Hudha
Tak terasa hampir satu jam saya terlelap di atas perahu dalam perjalanan dari dermaga Pajenayasem di pulau Kangean menuju pulau Bungin Nyarat. Sebuah pulau mungil di gugusan kepulauan Kangean. Dan ketika membuka mata, seolah mendapat sambutan hangat, saya mendapati pemandangan senja yang begitu cantik. Dengan matahari yang hampir tenggelam di balik horizon dan kemilau warna jingga yang memenuhi angkasa. Hanya perlu siluet perahu nelayan yang sama-sama hendak berlabuh untuk menggenapi. Dan... klik! Di pulau Bungin Nyarat inilah saya dan teman-teman akan bermalam, beristirahat melepas penat setelah melalui perjalanan yang lumayan panjang -apalagi bagi beberapa teman yang rela terbang jauh dari Medan dan Aceh- dan sedikit menguji iman, demi sebuah pembuktian.
Pembuktian atas surga dunia yang belum terjamah. Dan karena Bungin Nyarat bukanlah daerah wisata -setidaknya untuk saat ini, entah lagi suatu saat nanti- jadi wajar-wajar saja jika tidak ada penginapan khusus di pulau padat penduduk ini. Mas Dar, orang yang akan menjadi guide selama kami di Kangean, menjadikan rumah sederhananya sebagai hotel dadakan bagi kami, turis-turis kota ini. A Long Way To Heaven…
Entah setan apa yang merasuki pikiran kami saat dulu, dulu sekali, memutuskan untuk pergi ke daerah antah-barantah bernama Kangean ini. Sebuah gugusan kepulauan yang jujur saja, saya juga baru tahu saat itu kalau letaknya ternyata di kabupaten Sumenep, Madura. Sebagai orang Jawa Timur -well, setidaknya saya lahir dan tumbuh besar di sana- tentu saja saya merasa gagal. Melengkapi status kegagalan saya sebagai ‘arek Jatim’ yang belum pernah menginjakkan kakinya di puncak Mahameru. Singkat cerita, setelah saling meracuni pikiran satu sama lain, sepakatlah kami bersembilan untuk melakukan perjalanan militan ke Kangean. Sekaligus sebagai ajang reuni memperingati satu tahun perjalanan kami ke Taman Nasional Gunung Rinjani.
Meskipun secara administratif kepulauan Kangean termasuk dalam kabupaten Sumenep. Namun, tidak mudah juga bagi kami untuk bisa menuju ke sini. Dari terminal Purabaya di Surabaya kami naik bus patas -namun dengan kondisi yang jauh dari kata layak- menuju Kalianget yang terletak di ujung timur pulau Madura. Selama empat jam saya hanya bisa tidur-tidur ayam sambil senantiasa berusaha menepis angin malam yang menampar-nampar muka sepanjang perjalanan. Iya, kenek bus sialan itu, yang sudahlah jelek, gendut dan jutek, dengan tololnya memilih membuka lebar-lebar jendela bus tanpa memedulikan tampang-tampang menyedihkan penumpang di bangku paling belakang yang melempem keanginan.
Bahkan saking tololnya, ketika kami tiba di Kalianget subuh buta, cara kenek bus waktu menurunkan penumpang seperti orang sedang menurunkan kambing. Kasar dan tanpa perasaan. Ck! Beruntung, begitu tiba di Kalianget ini kami dipertemukan dengan orang-orang berhati mulia. Adalah beberapa penduduk lokal yang terheran-heran dengan adanya sekumpulan pemuda asing dengan muka-muka kuyu yang subuh itu keleleran di masjid kampung. Awalnya, dengan sumringah mereka mengira kalau kami ini adalah kelompok mahasiswa yang ingin melakukan semacam riset atau kegiatan bermuatan sosial di Kangean.
Namun, dengan rendah hati kami harus menjelaskan bahwa kami tidak semulia, dan semuda itu. Alih-alih sekumpulan pemuda pembawa angin perubahan, kami ini hanyalah rombongan pejalan yang ingin menikmati keindahan alam Kangean. Itu saja. Toh, mereka tidak lantas memercayainya begitu saja. Wajar, karena betapa selama ini orang hampir tidak pernah mengenal Kangean sebagai daerah wisata. Bahkan, saat saya meng-googling pun, sedikit sekali literatur yang menyebutkan tentang pesona wisata Kangean. Kalah telak oleh laman sebuah perusahaan pertambangan migas, Kengean Energy Indonesia.
Entah atas dasar kasihan atau apa, sang imam masjid malah menawarkan kepada kami untuk singgah sejenak di rumahnya. Sekadar numpang mandi dan meluruskan kaki sembari menunggu kapal, bujuknya. Kami pun tak enak hati untuk menolaknya. Tapi begitulah, dasarnya kami ini musafir-musafir tidak tahu diri, begitu sampai di rumahnya -yang hanya ditinggali berdua oleh sang imam masjid yang sudah tua dan istrinya- dan melihat kasur menganggur, tak seorang pun dari kami yang ragu untuk langsung merebahkan diri dan melanjutkan tidur yang tak tuntas.
Entahlah, kemana pula perginya rasa malu kami tadi? Tertinggal di masjid, mungkin. Ternyata itu belum seberapa, pasangan tua nan baik hati yang mengingatkan saya akan Carl Fredricksen dan istrinya, Ellie di film Up! ini kembali membuat kami semakin tidak enak hati dengan repot-repot membelikan nasi untuk sarapan segala, menyajikan milo hangat , sampai menelepon travel agent begitu mendengar cerita pilu kami tentang bus patas sialan itu. Dari sini wawasan saya langsung terbuka lebar. Bahwa Madura tidak hanya identik dengan juragan besi loaknya, sotonya, bebek sinjaynya, atau satenya. Tapi di sebagian masyarakatnya, saya menemukan keramahan dan kebaikan yang luar biasa. … … … Bungin Nyarat masih jauh dari pandangan.
Dari pelabuhan Kalianget, kami masih harus menyeberang ke pulau Kangean selama sekitar empat jam dengan kapal cepat. Terasa lama? Tidak juga. Karena hanya dengan menenggak dua butir antimo saya bisa terlelap dengan sangat pulas dan bangun-bangun sudah tidak suci lagi sampai di pelabuhan pulau Kangean. Tanpa mual-mual, pening, apalagi sampai jackpot. Nah, justru tantangan sebenarnya ada pada perjalanan selanjutnya. Menggunakan moda transportasi khas lokal, semacam mobil bak terbuka yang dimodifikasi sedemikian rupa, selama dua jam, dengan jalanan yang didominasi tanah berdebu -jangan harap ada jalan aspal semulus paha Nikita Willy di sini- kita membelah pulau dari ujung ke ujung menuju dermaga Pajenayasem. Dan begitu tiba, voilaaa… penampakan saya semakin mirip pria Timbuktu. Kriwil bluwek dengan sekujur badan penuh debu. Exploring heaven.
Selepas sarapan nikmat dengan lauk ikan bakar dan sambal bikinan istri mas Dar, kami memulai misi pembuktian ini. Tentu saja tak satupun dari kami ada yang berekspektasi macam-macam. Berharap kemolekan bawah laut atau pantai-pantainya setara Raja Ampat atau apa. Tidak. Bahkan, saya kagum dengan motivasi sederhana dari seorang Tesa yang sama sekali tidak mempersoalkan taraf keindahan alam Kangean. Asalkan bisa liburan ke luar Sumatra Utara dan tempat baru, itu sudah lebih dari cukup. Dipandu mas Dar menggunakan perahu motornya, kami berkeliling dari satu pulau ke pulau lain mencari spot-spot snorkeling.
Tempat pertama yang kami datangi adalah pulau Sebuntan. Snorkeling sebentar saja di sini, lalu lanjut ke pulau Paliat. Untuk kedua spot ini, terus terang terumbu karangnya biasa sekali. Bahkan, sedihnya di sana-sini banyak yang hancur akibat kegiatan pengeboman ikan. Beranjak siang, mas Dar mengarahkan perahu menuju pulau gosong Salarangan. Pulau eksotis dengan pantai berpasir putih dan air laut yang sejernih hati biarawati. Sesiangan kami beristirahat, gegoleran di pasir sekaligus menikmati bekal makan siang. Seorang penduduk dengan muka penasaran -dan sedikit sangar- tiba-tiba menghampiri kami. Saya sudah ngeri sendiri mengira jangan-jangan dia ini preman pulau yang tidak suka dengan kedatangan kami dan mau ngajak rebut atau apa. Ternyata saya salah. Di balik wajah sangarnya, tersimpan keramahan yang tiada terduga. Tanpa pamrih dia memandu kami berkeliling pulau, termasuk dengan antusias menunjukkan -yang menurutnya- pohon keramat yang ada di tengah kampung. Tentu saja reaksi saya hanya diam-diam memutar bola mata. Bukannya saya tidak tertarik dengan penampakan pohon yang memang tampilannya biasa saja itu atau tentang cerita mistis di dalamnya. Tapi saat itu saya lebih butuh warung makan daripada seonggok pohon. Saya lapar.
Highlight hari itu tentu saja snorkeling sore di perairan pulau Bangko. Terumbu karang dan ikan-ikannya me-nak-jub-kan! Di hari kedua ini kami bermalam di pulau Saur, masih menginap di rumah penduduk. Dan lagi-lagi saya merasa tertampar dengan keramahan dan kebaikan orang-orang sini. Rasanya baru di sini saya menemui penduduk yang mau-maunya gelap-gelapan mengantar-jemput tamu yang tidak jelas juntrungannya hanya supaya si tamu bisa mandi dengan air tawar yang ketersediaannya saja terbatas, bahkan rela meminjamkan baju istrinya untuk dipakai si tamu. Jujur saya benar-benar malu. Malu karena saya sadar saya tidak sewelas asih dan setulus mereka. Kalau boleh menyalahkan, kehidupan kota yang serba pragmatis lah yang telah membuat saya menjadi pribadi yang egois.
The next day. Hari ini kami berlayar ke pulau Seibus. Menurut pengakuan mas Dar, inilah spot snorkeling terbagus di gugusan kepulauan Kangean. Yang memang benar saja, saat saya menceburkan diri ke dalam air, ucapan mas Dar itu bukan isapan jempol belaka. It’s more than just beautiful! Sebuah taman laut yang teramat indah dan perawan terpampang nyata di depan mata. Mendadak semua orang berubah jadi dugong, yang sibuk berenang ke sana-kemari seolah tidak mau lagi keluar dari air. Tak terkecuali Ren yang heboh sendiri dengan senjata andalannya: bantal angin. :p Puas snorkeling di Seibus, kami melipir ke surga lainnya -sebuah pulau gosong yang lengkap dengan burung-burung berwarna putih dan sebuah pondokan tua. Well, bayangkan saja gambar-gambar cantik di kartu pos. Saya tidak tahu pasti akan sejarah berdirinya pondok ini. Namun yang saya tahu pasti, menikmati makan siang di sini dengan pemandangan surgawi seperti ini, membuat menu rakyat jelata sekalipun terasa bak hidangan para raja. Sungguh! Dan di tempat ini, selain kita bisa berleha-leha dimanja angin pantai atau sunbathing sampai kulit melepuh, snorkeling di perairan bawah pondok adalah sesuatu yang wajib dicoba. A die die must try! Di spot yang juga surganya ikan badut ini, kita bisa merasakan sensasi berenang di antara ribuan school of fish yang bergerak kesana-kemari seperti angin puyuh. Keren! Hari beranjak sore.
Sebelum melakukan snorkeling penutup di sekitar pulau Bangko -untuk kesejuta kalinya- kami memutuskan untuk mampir sebentar ke pulau Sapeken. Sebuah pulau kecil namun menyandang predikat sebagai pulau paling metropolis seantero Kangean. Tidak banyak yang kami lakukan di sini, toh tidak ada Inulvizta juga, kan. Hanya berbelanja logistik di salah satu toko kelontong yang tentunya paling hype se-Sapeken. Di malam terakhir, kami menginap di Pajenayasem.
Pemilik rumah yang kami inapi adalah seorang ibu muda yang hanya tinggal ditemani bayi, adik perempuan dan bapaknya. Dia bercerita, karena himpitan ekonomi, dia terpaksa merelakan sang suami merantau ke Malaysia menjadi TKI. Sedih memang, potret buram kemiskinan yang menjerat mayoritas masyarakat Kangean yang hidup di antara limpahan potensi alamnya jelas-jelas menunjukkan betapa ironisnya negeri ini. Terlebih, di sini pulalah berdiri Kangean Energy Indonesia. Ah, semoga saja kehadiran kami malam itu bisa sedikit membuatnya tersenyum.
Terlepas dari kegaduhan yang kita perbuat malam itu -apalagi kalau bukan karena permainan adu tolol ABC 5 Dasar- saya berharap, beberapa lembar rupiah yang memang tidak seberapa dari kami bisa sedikit meringankan beban hidupnya. Terus terang, tiga hari di Kangean tidak hanya membuat saya jatuh cinta akan pesona keindahan bawah lautnya. Lebih dari itu, saya merasa kotor dan hina. Betapa saya masih harus banyak belajar. Belajar tentang keikhlasan, tentang keramahan, tentang ketabahan, tentang kebersahajaan, dan juga tentang ketulusan.