Karapan Kerbau Ala Kangean
Popularitas Kerapan sapi Madura tak perlu dipertanyakan lagi, tapi bila terjadi kerapan kerbau di Madura hanya ada di Pulau Kangean. Didaerah setempat tidak disebut sebagai kerapan, namun lebih populer dikenal sebagai lomba kerbau.

Sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Sumenep Madura, pula Kangean memiliki keunikan tersendiri dalam hal kekayaan nilai tradisi dan budayanya. Meski tak sebesar wilayah daratan diwilayah daratan Sumenep, kekayaan tradisi Kangean perlu diperhitungkan sebagai aset kebudayaan nasional.

Akses jarak komunikasi yang demikian jauh dari pusat ibukota Sumenep (perjalanan laut dari Sumenep Kangean sekitar 8 – 9 jam naik kapan laut), keperhatian seni tradisi Kangean tidak banyak dikenal, sehingga popularitas tradisi di pulau ini banyak tidak diangkat ke permukaan. Seperti Pangkak, gellok (sejenis permainman okol), ngaliputi (di Sapeken) dan sejumlah seni tradisi lainnya.

Sedang lomba kerbau, pada dasarnya bukan sekedar suatu pertunjukan lomba atau kerapan semata, konon, dibalik itu terdapat nilai ritual sebagai bentuk usaha masyarakat setempat sebagai bentuk permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar dilimpahkan rezeki ketika menghadapi panen padi. Dengan bahasa yang lain, Lomba kerbau juga ditujukan sebagai tolak balak dari bencana pertanian, khususnya agar terhindar hama-hama tanaman yang mereka harapkan sebagai tumpuan kehidupan mereka.

Kerapan kerbau merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan warga Pulau Kangean. Sepasang kerbau diadu kecepatannya dengan sepasang kerbau lainnya tanpa joki (tidak seperti kerapan sapi). Dan pasangan kerbau itu digiring oleh kuda-kuda yang masing-masing dinaiki joki. Fungsi joki kuda untuk menggerrtak kerbau-kerbau itu sambil memuki dari arah samping kanan kiri, agar pasangan kerbau melaju lebih cepat sampai finish.

Ketika berlangsung “pertunjukan” ini, para pengunjung juga ikut berebut untuk memukul kerbau yang lari kencang di lapangan sepanjang jalan lapang (biasanya menggunakan sepanjang jalan desa) tempat kerapan atau lomba itu berlangsung. Alat pukulnya dari kayu dengan berbagai ukuran. Bahkan, para pengunjung ikut mengejar kerbau untuk bisa memukul berulang-ulang. Dari situlah fungsi joki kuda juga untuk menghalang-halangi penonton agar tidak banyak memukuli kerbau yang dilepas. Namun demikian umumnya pengunjung berusaha mencari kesempatan untuk dapat memukulinya.

Menurut keyakinan masyarakat setempat, setiap kali seseorang dapat memukul kerbau yang sedang berlari itu, semata-mata diniatkan untuk memukul dan mengusir roh halus yang disimbolkan sebagai roh jahat yang bergentayangan menyusup atau menyerupai binatang, karena didalam kerbau disimbolkan terdapat sejumlah penyakit dan marabahaya yang bisa mengganggu keselamatan dan ketentraman warga, khususnya dalam pertumbuhan hasil pertanian.

Konon kabarnya, pada waktu tempo dulu di wilayah Arjasa Kangean dan sekitarnya banyak hewan ternak yang mati dan hasil pertanian gagal panen. Bahkan, segala macam penyakit dan wabah menimpa warga, sehingga menurut tokoh-tokoh dahulu menilai wabah dan gagal panen yang mereka alami ada penyebabnya, yaitu roh halus dan jahat bergentayangan diwilayah mukim mereka. Bermula dari hal itulah, petuah sesepuh desa setempat menyarankan agar menggelar kerapan kerbau seperti yang digelar warga saat ini kala musim tanam dan panen padi tiba.

Jejek dan Lomba

Ada dua peristiwa yang dilakukan lomba kerbau ini, pertama jejel, pralomba yang dimaksud sebagai latihan ketangkasan kerbau yang nantinya akan diadu dalam lomba. Jejel harfiah dalam bahasa Madura; dicoba, biasanya dilakukan menjelang atau pada saat tanam padi. Pada saat itu masyarakat (yang punya kerbau) telah menyiapkan diri pasangan kerbaunya untuk diadu dalam lomba.

Sedang peristiwa kedua, yaitu pada lomba kerbau sendiri yang dilakukan pada saat setelah panen tiba. Hal ini sekaligus sebagai pesta panen dengan segala kemeriahannya. Kemeriahan tersebut tidak sebatas suasana peristiwa, juga termasuk asisoris kerbau dan kelompok pengiringnya. Para pengiring dengan menggunakan pakaian-pakaian yang dianggap mewah dan katagori mahal. Seperti sarung dan busana lainnya, sebagai bentuk suka cita ditengah medan lomba, dengan musik tradisi semacam saronen (Madura) diarah sampai tempat kerapan atau lomba.

Dalam peristiwa lomba tidak ada pengundian siapa lawan siapa, namun dilakukan atas dasar batas wilayah di desa (biasanya dibatasi wilayah barat dan wilayah timur) wilayah kecamatan. Untuk itu ketika lomba akan berlangsung sudah disepakati dua kubu tersebut akan bersaing. Ada satu etika (aturan) untuk masuk ke medan lomba, satu pihak ke pihak yang lain dengan bahasa menantang seorang wakil dari kubu berucap bahwa dia akan berbesan dengannya. Makna berbesan atau besanan diartikan sebagai lawan atau musuh.

Menjelang lomba berlangsung sepasang kerbau disiapkan di garis start lengkap dengan salage (alat bajak tradisional), sedang musik tradisi saronen menggema mengantar pasang kerbau yang akan berlaga. Suasana pada saat itu cukup hiruk pikuk, para joki kuda telah bersiap menggiring pasangan kerbau tersebut sampai finish. Sedang para pengunjung bersiap-siap dengan alat pukul untuk memacu pasangan kerbau masing-masing.

Setelah di finish, pemilik kerbau berjoget dengan iringan musik tradisional saronen. Mereka bersyukur dan senang karena acara ritual tolak balak dapat digelar dengan meriah. Mereka seakan tak peduli dengan lumpur yang memenuhi tubuhnya. Pada dasarnya Mam ajir juga bertujuan untuk tolak balak dan keselamatan warga petani. Tujuan utamanya untuk tolak balak, agar kehidupan warga jangan sampai diganggu oleh roh halus maupun segala macam bahaya yang setiap saat bisa saja terjadi. Kerapan kerbau untuk tolak balak itu hanya ditemui di Pulau Kangean, Sumenep. Sedangkan di kabupaten lain di Madura yakni Pamekasan, Sampang dan Kabupaten Bangkalan belum ada.

Melihat bentuk peristiwa pelaksanaannya, lomba kerbau ala Kangean ini tergolong berbahaya, karena dilepas begitu saja ditengah tempat terbuka, tidak ada pembatas antara pengunjung dengan lintasan kerbau, sehingga kerbau yang panik dan belarian itu, kerap menerobos gerombolan pengunjung termasuk didalamnya terdapat anak-anak. Maka tak heran setiap peristiwa lomba kerbau selalu memakan korban, entah diseruduk dan terinjak oleh kerbau maupun kuda sebagai pemburu kerbau yang berlarian. Hal ini berlangsung sedemikian lama sampai kerbau tersebut menginjak finish.

Uniknya, setelah lomba kerbau tersebut berakhir, tidak ditentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Sebagaimana besanan umumnya, posisi mereka sama-sama menang. Dengan kemenangan bersama itulah, kedua belah pihak melampiaskan suka citanya, asosris baju, sarung serta lainnya yang disandang kemudian dirobek-robek ditengah lapang, dengan suasa suka cita dan gempita. (syaf/Lontar Madura)