Perjalanan dari Pulau Saobi ke Pulau Bungin Nyarat memerlukan waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor. Dermaga di pulau ini terbuat dari papan kayu, dan daerah pesisirnya terdiri dari tumpukan karang berlapis pasir. Di pulau ini, sinyal telepon seluler tidak tersedia.
Permukiman di Pulau Bungin Nyarat sangat padat. Rumah-rumah penduduk hanya terpisah oleh jalan setapak. Hosaini, seorang warga setempat, menjelaskan bahwa pulau ini aslinya kecil dan padat. Tanah asli pulau hanya berada di sekitar kuburan dan mesjid. Untuk membangun rumah, warga harus menguruk laut dengan batu karang yang dilapisi pasir, yang diambil dari beberapa pulau tak berpenghuni di sekitar pulau.
Di Pulau Bungin Nyarat, tidak ada sumber mata air tawar. Untuk mendapatkan air tawar, warga harus membelinya dari penyedia jasa yang mengambil air dari Pulau Saobi. Harga air per satu jerigen 25 liter adalah Rp25.000, sementara penyaluran langsung ke bak mandi berukuran 1,5 x 1 x 1 meter dikenakan biaya Rp70.000. Air disalurkan dari tandon di atas perahu ke rumah-rumah warga menggunakan selang.
Karena kesulitan mendapatkan air tawar, warga seperti Hosaini hanya mandi jika sangat diperlukan, seperti sepulang kerja. Penyulingan air laut dianggap terlalu mahal dan memerlukan keahlian khusus, yang tidak dimiliki oleh warga setempat.
Mayoritas penduduk Pulau Bungin Nyarat bekerja sebagai nelayan dan penyelam tripang atau timun laut. Tidak ada lahan pertanian atau lahan kosong di pulau ini, dengan rumah-rumah yang berdempetan. Lebih dari separuh wilayah selatan pulau ditumbuhi mangrove.
Kehidupan di Pulau Bungin Nyarat penuh dengan tantangan, mulai dari keterbatasan lahan hingga kesulitan air tawar. Namun, dengan adaptasi dan ketekunan, warga pulau ini terus bertahan dan berusaha menjalani kehidupan sehari-hari.