Pada kisah sebelumnya telah diceritakan bahwa Pembuatan Kapal Borobudur dilakukan di Pulau Kangean yang terletak sekitar 60 mil (sekitar 90 Km) sebelah utara daratan Bali, tepatnya di desa Pagerungan Kecil, Sapeken, Sumenep, Jawa Timur. Kapal tersebut mulai dibangun pada tanggal 20 januari 2003 dan diturunkan ke air pada tanggal 26 mei 2003, serta pemasangan cadik pada tanggal 11 juni 2003. Selanjutnya adalah cerita pengalaman para awak kapal dalam proses persiapan hingga mengarungi samudera.

Mewujudkan Sebuah Asa
BEGITU banyak orang yang telah mengunjungi Candi Borobudur. Namun bagi Philip Belae, relief kapal layar pada dinding Candi Borobudur, menjadi sumber inspirasi untuk membuat sebuah kisah petualangan, serupa dengan petualangan Thor Heiyerdhal dengan perahu Kontiki-nya.

Lelaki Inggris ini menatap lama relief yang menggambarkan pelaut abad ke-delapan menjelajah buana dengan kapal sederhana. Tak hanya sekali relief itu dipandangi. Tapi berulang kali. Ia begitu terkesima. Ia rekam relief-relief itu dengan kamera. Ia tak mau ada bagian relief yang terlewatkan. Setiap detil relief direkam.

Saat itu Philip berkunjung kali pertama ke Candi Borobudur, tepatnya 8 Nopember tahun 1982. Kembali ke negaranya, pria yang pernah kuliah di jurusan arkeologi maritime di salah satu universitas di Inggris, hatinya menjadi galau. Ingatan tentang perahu layer yang terekam di relief Candi Borobudur selalu mengganggu hatinya. Dia bertekad untuk suatu saat akan mewujudkan kisah yang ada pada relief Borobudur. Tahun 2002, obsesinya tak terbendung. Ia pun mulai sibuk mencari informasi lebih detil guna merealisasikan gagasan gilanya.

Sebenarnya, Philip bukan orang pertama yang menggagas mengarungi samudera nan luas seperti terpampang di relief Candi Borobudur. Tahun 1992, ada orang Jepang telah merekonstruksi pahatan relief pada Candi Borobudur itu dalam bentuk nyata. Sayangnya, ekspedisi pelayaran yang dilakukan dengan mengajak beberapa pemuda Indonesia itu menuai kegagalan. Kapal yang ditumpanginya hanya sampai di Philipina. Karam dihempas ganasnya cuaca.

Efendi Sulaiman, salah seorang awak kapal kapal yang ikut dalam ekspedisi ini menuturkan, selain tidak bersahabatnya cuaca, pertengkaran antarawak kapal, mempercepat diakhirinya ekspedisi. Ketidakberhasilan ini tampaknya menjadi bahan kajian bagi Philip.

Beberapa kali Philip melakukan lobi ke Deparetmen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Republik Indonesia. Ini dilakukan agar Depbudpar mau mendukung gagasannya. Awalnya, tanggapan Depbudpar sedikit hambar. Ini karena Departemen itu belum memperoleh gambaran nyata tentang bentuk kapal. Tapi ketika lembar demi lembar papan terbentuk menjadi lambung kapal yang akan dipakai selama ekspedisi selesai dikerjakan, angin pun berbalik arah. Kini giliran Depbudpar yang malah lebih bersemangat.

Dalam perjalanan waktu, Depbudpar malah bertindak lebih aktif. Departemen ini bahkan aktif mengatur hubungan dengan Angkatan Laut RI, Departemen Perhubungan, kesyahbandaran pelabuhan laut dan lainnya. Tak berhenti di situ, Departemen Budpar juga melakukan perekrutan dengan membuka pendaftran bagi calon anak buah kapal (ABK) yang terdiri atas pemuda-pemudi Indonesia. Tentu bantuan dari Depbudpar melegakan Philip. Sebab, kalau dikerjakan sendirian, tentu Philip mengalami kerepotan dan harus mengeluarkan biaya besar.

Abah Assad, Sang Jenius
SEBAGAI penggagas, tentu Philip tidak ingin idenya berantakan di tengah jalan. Ia lantas menunjuk Nick Burningham, sebagai arsitek kapal. Nick yang juga berlatar belakang arkeolog maritim, punya tugas menggambar dan mencari pembuat kapal yang mumpuni di negeri ini. Tentu saja ini bukan perkara mudah. Terdapat banyak pilihan sebelum menetapkan satu di antaranya.

Di beberapa daerah Indonesia, selama ini dikenal sebagai sentra industri kapal. Sebut saja, Mandar, Bajo, atau Watampone yang telah terkenal sebagai pusat industri kapal Phinisi. Tapi pilihan jatuh pada Pulau Pagerungan Kecil di sebelah timur Pulau Madura.

Kenapa pilihan itu jatuh ke Pagerungan Kecil yang pamornya masih kalah dari Mandar, Bajo, Watampone dsb? Tentu, Nick punya alasan sendiri. Setidaknya menurut Nick, Pagerungan dikenal sebagai sentra industri kapal yang cantik dan kuat. Di pulau ini, hidup seorang kakek bernama Assad Abdullahkomno. Sepanjang karirnya sebagai pembuat kapal yang dimulai tahun 1970, Kakek Assad telah merampungkan 40 kapal.

Hal pertama yang dikerjakan Abah Assad, ---demikian Kakek Assad akrab disapa---, adalah mengumpulkan kayu sebagai bahan baku membuat lunas kapal. Untuk bagian lunas kapal, perlu kayu Ulin berkualitas tinggi yang didatangkan dari Kalimantan. Konon, kayu untuk lunas ini harus memenuhi persyaratan tertentu. Pada saat ditebang, kayu bagian batang Ulin yang “mencium” tanah itu dipertahanakan posisinya sampai didudukkan pada kapal.

Teknik yang dipakai dalam pembuatan kapal sangat tradisional. Hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan lunas. Setelah itu baru lembar demi lembar papan disusun seperti daun. Proses pembuatan yang dilakukan oleh Abah Assad sangat bertolak belakang dengan pembuatan kapal modern. Pada pembuatan kapal modern, tahap pertama yang dikerjakan adalah membuat rangkaian kapal atau gading-gading. Tapi Abah membuat kerangka badannya dulu, baru kemudian gading-gadingnya.

Peralatan dan teknik untuk pembengkokan kayu dan balok-balok, juga tergolong sederhana, tapi butuh kecermatan dan ketekunan. Abah hanya menggunakan media api dan klep. Pertama, balok atau papan yang akan dibengkokkan dipanasi di atas api pada suhu tertentu. Setelah dirasa cukup panas, baru kayu itu dibengkokkan.

Untuk menyambungkan kayu dan papan bahkan tidak dibutuhkan paku atau benda-benda yang berasal dari metal. Semua menggunakan media pasak yang diambilkan dari kayu belian. Untuk merangkai lembar demi lembar papan cukup menggunakan kulit kayu. Ini dilakukan untuk mencegah kebocoran. Teknik pembuatan secara tradisional ini tidak ditemukan dalam literatur manapun. Kata Abah Assad, ilmu yang dimiliki diperoleh turun-temurun yang merupakan warisan nenek moyang.

Lebih ekstrem lagi, dulu nenek moyang kita pada awal abad alaf, kata Abah Assad, menggunakan teknik merajut kayu dengan ijuk sebagai pengganti pasak. Menurut Dr BudiUtumo arkeolog dari Pusat Arkelogi nasional , teknik inilah yang digunakan oleh pembuat kapal pada suku-suku Asia Tenggara. Sementara penggunaan pasak gading dilakukan oleh pembuat kapal Cina.

Abah Assad dalam bekerja dibantu oleh 23 anak buah yang kebanyakan masih punya hubungan kekerabatan. Ketika mewujudkan bangunan kapal, Abah Assad tak segan-segan mengubah atau mengganti bagian yang dianggap mengganggu kekuatan kapal. Tentu, perubahan itu tanpa sepengetahuan Nick Burningham.

Empat bulan, sebenarnya merupakan kurun waktu relatif singkat untuk menyelesaikan sebuah mahakarya. Tapi Abah Assad yang begawan pembuatan kapal dan Nick sang arsitek, akhirnya mampu menyelesaikannya. Dimulai Februari 2003 dan rampung Juni 2003.

Tepat pertengahan Juni, kapal Borobudur ditarik dari galangan di Pulau Pagerungan Kecil. Momen ini sungguh dinanti semua pihak. Mulai dari Philip Beale sang expedition leader, Abah Assad, Nick, serta lainnya. Di bawah komando Abdullah, kepala tukang, seinci demi seinci kapal mulai mencium laut.
Ketika kapal melakukan uji coba meluncur elegan di pantai, Philip Beale tak kuasa menahan haru dan kemudian memeluk Abah Assad.
“Terima kasih Pak Assad,“ ujar Philip penuh haru dalam bahasa Indonesia terbata-bata.
Kapten Putu dari Angkatan Laut RI yang menyertai ekspedisi Borobudur memberikan pujian tulus kepada Abah Assad.
“Biasanya kapal yang baru meluncur ke air, akan oleng ke kiri atau ke kanan. Tapi ini tidak. Benar-benar seimbang (balance). Padahal kapal ini dibuat tanpa cetak biru. Abah hanya mengandalkan kejeniusan otaknya.”
Kapten Putu Sudana telah banyak makan asam garam dalam mengarungi samudra dengan perahu layar. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba arung samudera di Italia tahun 1996, yang mengundang kekaguman peserta dari luar Indonesia. “Crazy man”, itulah julukan yang diberikan peserta kepada Kapten Putu. Mereka merasa kagum atas keberanian putra kelahiran Bali ini mengarungi samudera yang menggunakan kapal KRI Arung samudera.

Jika peserta lain menyewa jasa kargo kapal laut atau pesawat terbang untuk mengangkut kapal layar yang akan digunakan lomba, Putu datang dari Indonesia mengarungi samudra ke Italia dengan kapal lombanya menembus ganasnya lautan.

Seleksi Awak Kapal
DI SUDUT halaman sebuah harian Ibukota Indonesia , minggu terakhir April 2003, terpampang iklan untuk menjadi anak buah kapal (ABK) muhibah. Pada iklan itu terpasang logo Departemen Pariwisata dan Kebudayaan RI dan British Council. Bunyi iklan itu antara lain: “Dibutuhkan, pemuda-pemudi Indonesia untuk menjadi ABK kapal muhibah ke berbagai negara.”

Di bawah pohon angsana yang merindangi sebuah kampus swasta di Jakarta, Widi duduk sambil memegang koran. Sambil menoleh, Widi menyapa yuniornya. “Zis, ini ada iklan lowongan ABK buat ekspedisi kapal ke berbagai negara. Kamu daftar deh. Daripada kamu nggak jelas juntrungannya,“ kata Widi sambil memberikan koran itu kepada yuniornya.

“Ok Bang Widi, “ jawab Aziz seenaknya sambil melihat persyaratan yang tersurat dalam koran tersebut.

Aziz tampaknya cukup serius dengan tantangan “iklan” Koran itu. Lima hari dari percakapan tersebut, aziz telah siap dengan segala persyaratan. “ Gua antar langsung aja aplikasi yang telah dibuat, sekalian nyari info kapal, mau berlayar ke mana dan misinya apa,” kata batin Aziz ketika ada tumpangan gratis ke kantor Budpar .

“Lamaran ini saya terima. Nanti Anda akan diberi kabar andai memenuhi syarat sebagai ABK,“ jelas Bu Rita, pegawai Kementerian Budpar yang sekaligus panitia Ekspedisi Kapal Borobudur (EKB).
“Lalu, yang dibutuhkan berapa orang Bu,” selidik Aziz lebih lanjut.

“Cuma lima orang,“ jawab Bu Rita sambil merapihkan berkas-berkas yang berantakan di meja. Maksud hati ingin minta keterangan lebih lanjut, tapi kelihatannya Bu Rita sibuk, maka Aziz segera pamit seraya berharap agar namanya bisa masuk di antara lima orang yang dibutuhkan.

Dari keterangan, tercatat ada 800 pelamar untuk mengisi posisi ABK. Cukup banyak memang. Angka itu sekaligus menunjukkan bahwa pemuda Indonesia masih tertarik dengan dunia kebaharian. Departemen Budpar sendiri tak menyangka ternyata cukup banyak pemuda yang berminat ikut ekspedisi bahari ini.

Jika mau jujur, sejauh ini ekspedisi yang pernah ada bisa dihitung dengan jari. Di antaranya Ekspedisi Phinisi Nusantara 1986, Cadik Nusantara keliling Asia Tenggara oleh Efendi Sulaiman 1992, Sandeg oleh Korpala Unhas tahun 1994 yang mengitari pulau Kalimantan, serta Cadik Srikandi 1989.

* * *
“Bang Aziz, ada telepon dari Budpar,“ ujar Tami. Aziz yang tengah memimpin rapat Mapala Stacia, segera menskors rapat.
”Alhmadullilah,“ ujar Aziz pelan sambil menutup gagang telepon yang mengabarkan dirinya diminta datang pukul 10.00 WIB minggu depan untuk wawancara di Budpar. Aziz kembali melanjutkan rapat. Tapi raut wajahnya tergambarkan kebimbangan luar biasa.

Di satu sisi, Aziz merasa gembira mendapat panggilan ikut wawancara di Departeman Budpar. Tapi, di sisi lain dia merasa ada beban menggelayut di pundaknya. Sebagai ketua pelaksana Mapala Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dia harus memegang teguh komitmen organisasi untuk tidak aktif dalam kegiatan alam bebas selama 1 tahun. Ini artinya, kalau dia ikut berlayar maka melanggar aturan organisasi, namun kalau tidak ikut, sama halnya membuang kesempatan yang ada di pelupuk mata.

“Kamu kan ketua Mapala, masak mau ngelanggar,” protes Dio, sesama pengurus Mapala Stacia UMJ.

Kabar yang menyebutkan Aziz masuk dalam 10 di antara 800 nama yang lolos seleksi awal, dan harus mengikuti seleksi berikutnya menggunakan kapal layar milik TNI AL di Teluk Jakarta selama dua hari, tak urung membuat perbedaan pendapat di Mapala Stacia UMJ. Kubu yang setuju Aziz ikut seleksi, memberikan dukungan moral. Sebaliknya yang tak setuju, terutama dari kalangan pengurus, kembali mengingatkan bahwa Aziz telah melanggar komitmen organisasi. Untuk meredam friksi yang timbul, Aziz beralasan, pelayaran di Teluk Jakarta adalah seleksi.

“Belum tentu juga lulus,” argumen Aziz.

Panitia seleksi membagi dua kelompok peserta yang mengikuti tes. Kelompok I terdiri atas peserta yang berasal dari luar Jakarta. Kelompok II adalah peserta yang berdomisili di Jakarta. Dari sepuluh peserta yang dipanggil, ternyata hanya enam yang mengikuti tes berikutnya. Sisanya, mundur teratur setelah tahu bahwa kapal yang digunakan berlayar adalah kapal latih berukuran 18 meter X 4 meter.

Pelayaran di Teluk Jakarta menggunakan kapal toolship KRI Arung Samudera di bawah komandan kapal, Lettu (L) Sriyanto. Pelayaran ini sejauh 15 mil laut dengan waktu tempuh 3 jam. Peserta seleksi mendapat bimbingan dari Kapten Putu Sudana dan Raymond Kotambunan. Peserta mendapatkan gambaran umum mengenai pelayaran.

Dalam pelayaran ini atau lebih tepatnya pelatihan, peserta diajarkan bagaimana mengemudi, menentukan sudut kompas, merawat kapal, menarik layar, dan simpul simpul yang sering digunakan dalam dunia pelayaran. Walaupun awam, peserta bisa menangkap apa yang telah diajarkan instruktur dari KRI Arung Samudera.

Pelatihan ini terasa menyenangkan. Selain karena mendapat pengalaman baru, para ABK bersikap ramah dengan mengajak mengobrol dan berceritera tentang pengalaman mereka selama ikut pelayaran keliling dunia tahun 1995 lalu.

Ada ceritera menarik dari para awak kapal KRI Arung Samudera. Sesampai di Genoa Italia, para awak kapal mendapat julukan “crazy man”. Julukan ini muncul karena pelaut negara lain merasa takjub dengan keberanian awak KRI Arung Samudera yang berlayar dengan kapal sederhana sampai ke Italia.

Dari enam peserta pelatihan, Shanti yang berasal dari luar Jakarta mengalami mabuk laut. Ia sempat memuntahkan isi perutnya sambil berpegangan pada gallery kapal. “Aku pusing dan mual-mual,” kata Shanti.
Setiba di dermaga Pulau Bidadari, para “calon ABK” berkumpul untuk mendengarkan evaluasi dari Kapten Putu dan Pak Raymond. Ketika malam menghampiri, para “calon ABK” mencari tempat masing-masing di dek kapal beralas matras untuk membaringkan tubuh.

Malam makin larut. Terlihat empat dari peserta pelayaran yang masih asyik ngobrol sambil berandai-andai jika terpilih ikut dalam muhibah ke berbagai negara. Mereka itu adalah Pak Raymond Katambunan, Aziz, Oscar, dan Bayu. Pak Raymond dengan agak skeptis mengatakan, ekspedisi Kapal Borobudur yang akan dilakoni merupakan mission imposible. Agak ciut juga nyali mendengar itu. Pak Raymond saja yang telah 30 tahun menggeluti dunia arung samudera berucap seperti itu, apalagi peserta seleksi yang buta tentang dunia pelayaran. Tapi kekhawatiran itu dipendam dalam-dalam. Mungkin Pak Raymond hanya menguji nyali.

Hari kedua pelayaran, setelah sarapan, para awak berlayar kembali menuju ke Jakarta. Pelayaran kali ini dilalui dengan baik, karena peserta seleksi sudah bisa beradaptasi dengan hamparan lautan. Tip-tips agar tidak mabuk laut, menghilangkan rasa jenuh dan bagaimana menghadapi situasi tersulit dalam pelayaran, diberikan secara gamblang oleh ABK KRI Arung Samudera. Pukul 12.30 WIB, kapal merapat ke dermaga Kolinlamil, Tanjung Priok. Kapten Putu menjanjikan akan mengabari hasil seleksi selama pelayaran di Teluk Jakarta.

Tanjung Benoa –Tanjung Perak
PELAYARAN di Teluk Jakarta, tampaknya bukan tes terakhir. Akan ada tes lagi berupa pelayaran dari Tanjung Benoa, Bali, menuju Tanjung Perak, Surabaya. Jika tes di Teluk Jakarta menggunakan KRI Arung Samudera, kali ini menggunakan Kapal Borobudur. Kapal ini nantinya akan menjadi kapal muhibah Ekpedisi Borobudur menuju ke Ghana, Afrika Barat.

Persiapan berupa fisik dan mental segera kami siapkan. Panitia seleksi menanti kami di Denpasar 14 Juli 2003. Hotel Santika, Denpasar, menjadi tempat kami bermarkas. Ternyata, di Hotel Santika, peserta tes bertambah menjadi sepuluh orang. Tambahan lima orang itu adalah peserta tes yang berasal dari luar Jakarta. Acara “nambah temen” dimulai. Kami saling memperkenalkan diri satu per satu.

Malam hari, Kapten Putu Sudana, memberikan pengarahan kepada peserta seleksi. Ia juga memaparkan rencana kegiatan esok. Kali ini peserta tes dibagi menjadi dua gelombang. Setiap gelombang terdiri atas lima orang. Gelombang pertama yang terpilih adalah Antoni U, Bayu F, Ngurah N, A Aziz dan Habibie. Hanya saja Habibie tidak bisa ikut dalam trip pertama ini, yang akhirnya digantikan oleh Mujoko yang mestinya ikut dalam rombongan kedua.

Sambil mengisi waktu malam, acara ngobrol sesama peserta tes segera terjadi. Antoni U, tak pelak menjadi titik perhatian peserta. Ini karena Antoni seorang yang pernah menjajal Kapal Borobudur. Pertanyaan segera diluncurkan kepadanya.

“Bagaimana rasanya berlayar dengan Kapal Borobudur,” tanya peserta.
“Aku melihat ada bagian kapal ini mau lepas. Kapal ini dalam proses pembuatannya tidak menggunakan paku atau bahan metal lain,” timpal Antoni sambil cengegesan. Jawaban Antoni yang sekenanya itu tak urung membuat peserta cemas.
“Kalau ada bagian yang mau lepas, gampang itu. Tambal saja pakai paku,” timpal Aziz tak mau kalah slengekan.
“Ngawur kamu. Wong kapalnya melaju, bagaimana cara menambalnya. Kapal ini bagaikan peti mayat yang terapung,” tambah Antoni yang dikenal sebagai instruktur penyelam menimpali pernyataan Aziz.

Habibie yang berwatak serius menyangsikan keterangan Antoni. “Bukan kah kapal ini telah melewati uji kelayakan dari Departemen Perhubungan. Mana mungkin kapal ini dibiarkan meluncur tanpa melalui uji kelayakan,” kata Habibie agak getir.

Pembicaraan akhirnya berakhir setelah rasa kantuk menyergap. Peserta tes akhirnya bubar masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

* * *
Tanggal 15 Juli 2003, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika, meresmikan penggunaan Kapal Borobudur. Seluruh “calon ABK” hadir dalam acara itu. Namun tak urung masih ada “calon ABK” yang menyangsikan kekuatan Kapal Borobudur. Habibie yang memang kuliah di bidang perkapalan di ITS Surabaya mencoba meyakinkan. “Kapal ini kokoh dan seimbang.”

Niken dan Sherly, dua “calon ABK” dari Indonesia yang sempat meninjau ke atas kapal tak kuasa menahan gejolak hatinya. “WC - nya mana,” tanyanya kepada Antoni. Ini memang pertanyaan khas kaum hawa.
“Itu di dekat kantin dan gallery. Kamu bebas memilih, “ timpal Antoni tenang.

Jawaban itu tentu membingungkan. Sherly membayangkan, bagaimana selama pelayaran akan membuang hajat besar. Bukan kah awak kapal lebih didominasi kaum Adam. Kegundahan Niken dan Sherly akhirnya didengar Menteri Gde Ardika. Ia minta agar sesampai di Surabaya, kapal harus dilengkapi WC khusus wanita.

Menteri Gde Ardika pada kesempatan peresmian memperkenalkan para “calon ABK” kepada yang hadir. Mulai dari Philip Baele, sang pengusung gagasan, Kapten Putu Sudana, hingga 10 orang pemuda yang ikut seleksi. Pada kesempatan pertama, Antony dikenalkan sebagai penyelam handal. Bayu, seorang psikolog UI, Ngurah dari perhotelan Bali, Habibie mahasiswa perkapalan ITS. Mereka dengan keahliannya mendapat tepuk tangan meriah karena bisa berguna bagi ekspedisi.

Kini giliran Aziz yang dikenalkan. Mahasiswa UMJ jurusan Administrasi Negara juga memperoleh sambutan riuh. Tapi tunggu dulu. Keriuhan itu bukan berupa kekaguman, namun suara tawa yang terdengar . Administrasi negara gunanya di kapal itu apa? Niken dan Mujoko dari jurusan maritime sains IPB, Sherly seorang duta Budha dan Ipang dari Perhotelan, mendapatkan aplaus yang meriah.

Jika ada yang disebut bintang pada acara perkenalan itu adalah Niken dan Sherly. Kedua wanita ini dikerubuti wartawan untuk diwawancarai. Para kuli Flash drive menganggap langka puteri Indonesia berani mengarungi Samudera Hindia dan Atlantik. Apalagi mereka berdua bukan pelaut.

Kapten Gita Arjakusuma, nahkoda Phinisi Nusantara yang melayarkan kapal phinisi ke Vancouver, Canada tahun 1986, ikut memberikan pesan-pesannya.

Untuk bisa terpilih menjadi ABK Kapal Borobudur tidaklah mudah. Selain melalui tes, mereka juga harus lulus dari “ujian” orang tua. Sherly, peserta termuda misalnya. Ia berjuang cukup keras untuk bisa meyakinkan kedua orang tuanya. Sangat wajar jika ayah-ibu Sherly khawatir. Karena Kapal Borobudur yang nantinya digunakan melakukan ekspedisi berukuran kecil serta terbuat dari kayu.

* * *
“MULAI saat ini kalian dilatih di kapal,” kata Kapten Putu Sudana tegas.
“Latihan seperti apa Pak, “ tanya Ngurah.
“Nanti kalian dibagi menjadi dua tim. Masing-masing tim terdiri dari dua orang. Antoni dan Aziz di tim pertama. Mujoko dan Ngurah, di tim lainnya.

Hari itu, setelah acara peresmian, Aziz dan Antoni mendapat giliran pertama berlatih di atas kapal. Esok harinya giliran Ngurah dan Mujoko. Jika satu berlatih di kapal, tim lainnya menghabiskan waktu di hotel. Demikian seterusnya.

Boleh-boleh saja ada pembagian tim, tapi pada kenyataannya, keempat calon ABK itu, setiap hari terlihat di atas kapal. Hotel yang seharusnya sebagai tempat menginap, ternyata hanya untuk mandi. Mereka lebih senang tidur bareng di atas kapal.

Kapal Borobudur membuang jangkar di tengah laut Pelabuhan Benoa. Untuk mencapai kapal, para calon awak kapal menggunakan jasa antar-jemput motor boat milik Lanal TNI AL. Antoni, Aziz dan Kapten Putu Sudana yang mendapat giliran hari pertama, untuk naik kapal. Di atas kapal, untuk pertama kalinya Aziz berkenalan dengan Philip.

“Kamu kuliah di mana,” tanya Philip kepada Aziz dalam bahasa Inggris.
“Jurusan Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta,” jawab Aziz polos.

Jawaban itu ternyata membuat Philip kagok. Masak mahasiswa jurusan Administrasi Negara ikut ekspedisi kapal.

Ternyata Kapal Borobudur belum sepenuhnya siap. Tempat tidur belum selesai, dan beberapa bagian seperti tempat duduk pengemudi juga belum ada. Peralatan-peralatan darurat seperti liferaft masih tergeletak begitu saja di atas dek. Peralatan navigasi yang sudah terpasang hanya sebuah GPS. Itupun tidak terpasang dengan baik. Tangki solar untuk generator listrik, belum dibuat dan beberapa bagian seperti tali-temali juga belum selesai.

Di atas kapal, pengerjaan akhir masih terus dilakukan. Beberapa orang pembuat kapal dari Pagerungan terlihat sibuk menekuni pekerjaannya. Hanya saja, para pekerja itu kerap mengeluh tentang upah yang diterima kurang sesuai dengan harapan.

”Apakah Bapak bekerja ini punya kontrak dengan Philip,“ tanya Joko dan Aziz kepada Umar.
“Tidak ada,“ jawabnya.

Kondisi itu membuat Aziz dan Joko menjadi prihatin. Aziz dan Joko menyarankan agar Umar dkk mengurus kontrak kerja, terutama terkait gaji serta kesejahteraan. Kontrak itu perlu karena bekerja di kapal mempunyai risiko besar. Saran itu tampaknya diabaikan Umar. Ia merasa tidak terbiasa bekerja berdasarkan kontrak kerja. Ia lebih percaya omongan daripada legalitas di atas kertas. Akhirnya Philip menaikkan upah mereka menjadi Rp 50 ribu per hari, karena mereka kerap bekerja angin-anginan.

Rasyid, salah seorang pekerja kapal dari Pagerungan, sebenarnya ingin sekali ikut terlibat sebagai awak kapal dalam muhibah ke Afrika Barat. Hanya saja, dia tidak bisa mengungkapkan kepada Philip. Ia merasa tidak punya kemampuan berkomunikasi berbahasa Inggris.

Bila malam, di sela-sela istirahatnya, Ia meminta kepada Antoni, Joko dan Aziz untuk mengajari bahasa Inggris.
“Jok, apa bahasa Inggrisnya saya ingin ikut kapal ini sampai ke Afrika, “tanya Rasyid kepada Joko.
“I want to join the expedition to Afrika,“ bimbing Joko.

Rasyid memang berkeinginan mengubah hidupnya dengan ikut ekspedisi Kapal Borobudur. Tapi keinginan itu tidak terwujud. Karena Philip telah memilih Dirman, Sulhan dan Muhammad, dari Pagerungan, ikut dalam kapal.

Menurut Rasyid, saat di Pagerungan, dia dipromosikan oleh Abah Assad untuk ikut serta kapal sampai ke Ghana. Hanya saja Philip memutuskan lain.

Ekspedisi memang belum dimulai. Pelayaran tes menuju ke Surabaya belum juga berangkat. Tapi di antara sesama calon ABK telah terjalin kekompakan. Jalinan kerja sama erat antarcalon ABK itu terbentuk karena perasaan senasib, walau mereka sebenarnya tengah bersaing untuk bisa terpilih ikut ekspedisi.

Mereka merasakan bahwa apa yang dilakukan, seperti memasak, mencuci piring dan hal lain, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pengetahuan pelayaran.
“Sepertinya kita sedang tidak melakukan napak tilas pelayaran nenek moyang pada abad ke-8,” ucap Aziz membuka wacana.
“Ha…, ha…,ha…. Ya. Philip sebagai Speelman-nya,“ sahut Antoni sambil terus menyerut papan.
Wacana ini suatu kali dibawa ke Kapten Putu Sudana. Dan, apa kata Kapten Putu. “Ini memang berlaku untuk calon pelaut di seluruh dunia.”

Kendati jawaban itu tidak memuaskan, tapi semua calon ABK tetap bersemangat agar bisa ikut dalam ekspedisi Kapal Borobudur yang melanglang sampai Afrika Barat. Waktu yang dinanti tiba. Tanggal 22 Juli 2003, kapal dilepas oleh Danlanal Denpasar menuju Tanjung Perak Surabaya. Danlanal Surabaya ikut mendampingi sampai gerbang keluar Tanjung Benoa.

* * *
KAPTEN Putu menginstruksikan untuk mengangkat sauh yang berjumlah tiga buah. Mesin kapal kemudian dinyalakan. Mesin kapal hanya difungsikan untuk keluar-masuk pelabuhan. Selebihnya setelah berada di lautan lepas, mesin dimatikan kemudian digantikan oleh layar.

Tepat pukul 14.00 Wita, setelah seluruh awak memanjatkan doa, kapal bergerak pelan meninggalkan Pelabuhan Benoa menuju ke arah selatan yang terkenal dengan gelombang besarnya.

Pelayaran kali ini dinahkodai Kapten ( L ) Putu Sedana. Para awak yang ikut adalah; Philip Beale ( pencetus ide ), “Tiger“ si juru kemudi, Allan Campbel ahli elektrik, 7 orang pekerja pembuat kapal dari Pegerungan, yaitu Pak Bul (70), Sulhan (50), Rasyid (49) , Umar (50), Sofyan (45), Muhammad (47), dan Dirman (29). Ada juga 5 orang calon ABK yang tengah mengikuti seleksi: Antonio Ugiono (29), Bayu (31), Ngurah (31), Mujoko (23), Aziz (25) dan seorang wartawan “Tempo”, Ryan .

Tak terasa, pelayaran telah berlangsung 1 jam. Kapten Putu menginstruksikan awak kapal membuka layar utama. Saat layar digelar, kapal dimiringkan agar ‘makan angin’. Umar segera membuka tali temberang di sisi kanan. Setelah itu, tali sentakan ditarik beramai-ramai. Bayu memberi aba-aba sambil berteriak: satu…,.dua…, tiga…. Serentak tali ditarik. Butuh waktu 20 menit untuk menarik, baru setelah itu layar naik sampai batas atas.

Untungnya tali ijuk cuma ada di jeep sail. Tidak terlalu susah mengendalikan jeep sail. Pak Bul yang sarat pengalaman, tak mengalami kesulitan mengikat tali tanjak bagian bawah pada balok depan, sehingga layar tanjak diagonal dengan tinggi kanan. Tali daman dan temberang. lalu diikatkan kembali sehingga layar berkembang dengan baik.

Saat itulah mesin dimatikan. Suasana hening kemudian tercipta. Jika ada suara yang memecah keheningan, itu berasal dari benturan cadik kanan-cadik kiri silih berganti tang membelai air laut. Irama yang terbentuk dari benturan cadik, bak irama musik yang nikmat didengar.

Atas Komando Kapten Putu, Antoni membacakan jadwal piket jaga. Piket dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari delapan awak. Kelompok 1 yang mendapat giliran jaga pertama mulai mengatur posisi. Sulhan bertugas menjadi juru mudi, petugas look out (pengawas depan) dua orang, yaitu Rasyid dan Ngurah. Sedangkan untuk mengeplot jalur perjalanan, Philip Beale yang diawasi Kapten Putu, di ruang bawah.

Dari layar Global Positioning System (GPS) diketahui, laju kecepatan kapal mencapai 4,5 knot. Gelombang besar setinggi satu hingga dua meter, mulai terasa menguncang para ABK. Orang-orang Pagerungan yang terbiasa dengan hal ini, terlihat tenang. Berbeda dengan 5 peserta seleksi ABK. Perut mereka mulai terasa diaduk-aduk yang berakibat mual-mual dan pening. Hanya semangat yang tinggi membuat mereka mampu bertahan.

Haluan kapal 180 derajat menuju selatan, dipertahankan sampai keluar dari “Bebek Saat giliran jaga pukul 22.00 Wita, haluan diubah menjadi 270 derajat menuju barat. Gelombang setinggi empat meter, bergantian bergulung menghantam kapal. Muhammad yang memegang kemudi, terlihat di atas dan Riyan yang asyik di depan tidak terlihat. Ini saling bergantian. Saat Mujoko dan Aziz belajar memegang kemudi, guncangan di kapal lebih hebat karena jalan kapal seperti ular, sehingga Umar mengatakan, dirinya tidak bisa tidur lantaran guncangan yang hebat.

Ketika juru mudi ganti ke tangan Rasyid, kembali alunan berkurang. Pukul 02.00 tiba-tiba angin berubah. Kapten Putu Sudana memutuskan untuk balik layar. Saat itu Tiger sedang memegang kemudi. Terlihat kesibukan dari awak kapal tengah membuka tali daman dan tali tanjak. Di antara awak kapal, Pak Bul yang paling sibuk. Ia memang paling berpengalaman.
Tiger dari ruang kemudi bertanya: “what happens?”
Kapten Putu segera menerangkan apa yang sesungguhnya yang terjadi.

Di kapal ini, dapat dikatakan ada 3 (tiga) bahasa untuk berkomunikasi sehari-hari, yaitu: bahasa Inggris, Indonesia dan bahasa Pulau Pagerungan (bahasa bajo). Perbedaan bahasa yang dipakai, ternyata menjadi kendala komunikasi. Saat akan melakukan pekerjaan pindah layar atau menaikkan layar lebih didominasi awak kapal dari Pagerungan, yang lain hanya mengikuti dari belakang atau sekadar membantu. Ini bisa terjadi karena komunikasi antarmereka menggunakan Bahasa Bajo. Lagi pula, terutama --5 calon ABK—tidak punya pengalaman dalam berlayar.

Sekitar 3 jam, para awak mengalami suasana mencekam. Pukul 05.00 WIB, suasana mulai terkendali. Anton yang lebih berpengalaman dibanding 5 calon ABK berceritera, di wilayah Pengembengan yang telah dilewati, tinggi ombak di musim barat bisa mencapai enam meter.

Ketika kapal Borobodur melintasi Pengembengan, ombak relatif tenang karena dilakukan pada musim timur. Ini sangat membantu. Angin timur yang bertiup mempercepat laju kapal menuju arah barat. Kapten Putu memperkirakan, pukul 11.00 kapal akan masuk perairan Banyuwangi.

Setengah jam menjelang masuk Banyuwangi, perintah untuk menurunkan layar terdengar dari mulut Kapten Putu. Kami (calon anak buah kapal, red) berpikir, pekerjaan menggulung layar tentu lebih mudah dibandingkan menaikkan layar. Ternyata pekerjaan ini sama beratnya dengan menaikkan layar.

Pertama, tali tanjak dan daman dibebaskan (diurai). Setelah perahu dihadapkan pada posisi ‘mati angin‘, penggiling siap-siap diputar. Perlahan tapi pasti layar menjadi tertutup. Pada bagian ini butuh banyak orang untuk menahannya agar penggiling tidak naik lagi. Berbarengan dengan itu, tali sentak ditarik ke bawah. Dan, layar tergulung sempurna. Giliran Muhammad meyalakan mesin agar kapal bergerak ke daerah buang jangkar.

* * *
KAMI singgah di pelabuhan Banyuwangi untuk membeli kayu. Kesempatan itu dimanfaatkan sebagian ABK untuk mandi di darat. Bagi yang bertugas jaga kapal, mereka tidak dibolehkan turun ke darat. Sebaliknya yang “bebas” menggunakan kesempatan itu sekadar cuci mata di sekitar Pelabuhan Banyuwangi.

Tak terasa malam datang menjelang. Para awak yang telah balik ke kapal, kembali sibuk bekerja. Ini karena arus dari Laut Jawa ke arah Laut Selatan sangat kencang. Butuh penjagaan ekstra untuk memastikan jangkar tidak hanyut. Sepi menyergap. Dari kejauhan tampak hilir mudik kapal fery penyeberangan Jawa-Bali. Untuk mengisi waktu, para ABK bermain kartu di dek di depan rumah-rumahan yang hanya diterangi pelita. Pelita terlihat bergoyang berirama tertiup angin.

Malam berganti pagi. Sang Bagaskara (matahari) dengan ramah menyapa semua awak. Para awak kembali bekerja. Kayu-kayu yang dibeli sehari sebelumnya, diatur agar rapi di sisi kanan kapal. Awak lain bertugas mengisi tandon air berupa enam jerican besar. Masing-masing jerican mempunyai volume 35 liter.
Sufyan dan Aziz mendapat tugas untuk memenuhi jerican. Dengan menggunakan perahu kano, kedua awak ini “berbelanja” air di darat. Pukul 12.00 WIB, kapal yang dijadwalkan Kapten Putu untuk angkat sauh, ternyata masih tetap terparkir. Ini karena Philip belum juga pulang dari darat. Baru pukul 16.00 WIB, kapal angkat jangkar dan meneruskan perjalanan ke Surabaya.

Di Banyuwangi, kapal bertambah 2 orang “penumpang” yaitu; Nick Burningham dan Rick. Nick adalah arkeolog maritime lulusan Inggris, kolega Philip, dan Rick seorang penjaga pantai dari Australia.
Kali ini giliran jaga dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 6 orang. Dengan haluan 350 derajat, kapal mulai menuju Pantai Utara Jawa. Sangat keliru kalau ada anggapan pelayaran berjalan mulus. Malam hari, kesulitan mulai menghadang. Beberapa kali para awak harus membalik layar akibat arah angin yang berubah-ubah. Kecepatan yang dicapai bisa mencapai 7 knot, karena 3 layar dikembangkan sekaligus.

Saat memasuki perairan Penarukan, lalu lintas pelayaran ramai sekali. Banyaknya kapal yang hilir mudik memerlukan kewaspadaan cermat.dari petugas jaga depan.
Nick dengan gaya khasnya selalu memberi aba-aba untuk balik layar atau tidak. Kali ini, perintah untuk membalik layar mengakibatkan sedikit ketegangan, karena boom atas tersangkut di tiang utama sehingga tali tanjak yang dipegang Nick tidak bisa ditambatkan. Rasyid segera naik ke atas untuk membebaskan boom yang tersangkut.

Ketegangan belumlah usai. Setelah bebas, layar kembali mendapat angin. Sialnya angin berhembus kencang sekali sehingga Nick yang masih berdiri memegang tali tanjak terseret sejauh 2 meter. Sementara Aziz yang berada di dekat rumah-rumahan terhantam badan Nick. Untung saja kejadian itu tidak menimbulkan luka atau patah tulang. Tapi kepala Aziz menjadi keliyengan akibat terhamtam dengkul Nick.

Tanpa terasa, sudah 2 hari (selepas Banyuwangi) kami di laut. Menurut Muhammad, kapal akan melewati perairan Pasuruan yang terkenal dengan badai gending. Benar juga, saat di arah timur, kami melihat sederet gunung dengan 4 puncak yakni: Gunung Arjuno, Welirang kembar satu, dan kembar dua, serta Gunung Penangungan. Puncak gunung tersebut berdiri dengan angkuh. Tapi Aziz yang pernah menaklukkan seluruh gunung di Pulau Jawa, Elbrus (Rusia) dan Kilimanjaro (Afrika), hanya diam saja. Tapi di dalam hatinya ia berujar, “aku pernah menaklukkanmu.”

Memasuki hari keempat selepas Banyuwangi, atau sekitar pukul 20.00, kapal sudah berada 8 mil dari Surabaya. Sebenarnya sudah sangat dekat dari Surabaya. Tapi kapten kapal memutuskan esok pagi baru masuk Surabaya. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan, karena banyak pagar dan jala yang ditebar nelayan sepanjang jalur masuk Surabaya. Pagar dan jala itu bisa membahayakan pelayaran yang dilakukan malam hari.

Paginya, kapal mulai mengangkat jangkar, merayap pelan, hati-hati melewati pagar dan jala nelayan. Pukul 12.00, akhirnya kapal merapat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Surabaya – Semarang
PELAYARAN Surabaya – Semarang tanpa lagi mengikutsertakan calon ABK dari Denpasar dan pekerja dari Pagerungan. Untuk trip ini, giliran peserta seleksi lain. Pada seleksi kedua ini anggota seleksi : Irvan Risnandar, Muhammad Habibie, Niken Maharani, Oscar Susanto dan Shierlyana Juanita Chandrady. Tentu Kapten Putu Sudana, Philip dkk masih turut menyertai.

Di Surabaya, Nick Burningham meminta Habibie yang saat itu tinggal di Surabaya, belanja beberapa barang di antaranya: gelas plastik, piring plastik, sendok sayur, penggorengan, baskom plastik dan beberapa peralatan dapur lain.

Di Kota Pahlawan Surabaya ini pula, kamar kecil baru yang atas permintaan Menbudpar Gde Ardika telah dibangun. Kamar kecil itu memudahkan peserta tes perempuan seperti Niken dan Shierly beraktivitas.

Pelayaran Surabaya – Semarang ditempuh dalam waktu 3 hari 2 malam. Shierlyana Juanita menjadi peserta yang paling tersiksa. Bagaimana tidak. Ia sejak hari pertama hingga hari ketiga pelayaran, menderita mabuk laut. Sebenarnya Shierly tidak sendirian. Irvan juga mabuk. Hanya saja, mulai hari kedua Irvan sudah terbebas dari mabuk laut. Habibie, Niken dan Oscar menikmati pelayaran ini dengan aman. Meski mabuk, tapi Shierly menunjukkan semangat tinggi untuk melahap semua pelatihan yang diberikan. Ia ingin membuktikan bahwa tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

Sesampai di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, diumumkanlah bahwa dari hasil seleksi layar, Niken dan Joko dipilih sebagai awak kapal tetap yang akan berlayar mulai dari Jakarta sampai Ghana. Sementara lainnya sebagai additional awak kapal akan dipanggil oleh panitia dan dibagi-bagi menurut etape yang telah ditentukan.

Kapal Borobudur sempat masuk dock di Pulau Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah sebelum dilayarkan ke Jakarta untuk dilepas secara resmi oleh Presiden RI (ketika itu) Megawati Soekarnoputri.

Pelatihan
DARI sebelas peserta seleksi calon ABK, 10 orang dinyatakan lulus berhak mengikuti pelayaran. Keharuan terlihat di wajah 10 ABK “baru” yang dinyatakan lulus. Sepuluh ABK yang terpilih memang bukan pelaut. Tapi, mereka adalah para pemuda pilihan yang datang dari pelbagai latar belakang. Untuk itulah, mereka mendapat pelatihan tambahan berupa basic safety training (BST) yang diadakan 10 – 12 Agustus 2003 di pusat pelatihan perkapalan Pertamina, Jl Pemuda Jakarta Timur. Materi pelatihan di antaranya, first aid hingga fire fighting. Selama pelatihan, mereka berbaur dengan calon ABK dari instansi lain yang akan mengawaki kapal berbobot di atas 5000 DWT. Menurut instruktur BST, pelatihan sejenis diwajibkan bagi ABK yang bekerja di kapal yang muatan di atas 5000 DWT.

Walau kelas ABK Borobudur bersifat khusus, namun tak menghalangi keinginan kami untuk bertukar pikiran dan informasi dengan para ABK kapal bertonage besar. Ternyata mereka itu tidak banyak yang tahu tentang Kapal Borobudur. Mereka baru mengerti setelah mendapatkan penjelasan dari kami.

Hal yang menggembirakan, ternyata mereka salut dan menyambut gembira Ekspedisi Borobudur. Jelas tampak di wajah, mereka tak bisa menyembunyikan kekaguman terhadap awak Kapal Borobudur.

“Gila bener, anak-anak masih bau kencur ini mau mengarungi samudera luas dari Jakarta menuju Ghana hanya dengan kapal kecil kuno berukuran 18 meter X 4 meter. Padahal ombak di Samudera Hindia bisa mencapai belasan meter,” gumam mereka.

Kekaguman bercampur kekhawatiran dari ABK kapal besar itu begitu berkesan di benak ABK Borobudur. Para ABK Borobudur malah menjadikannya sebagai motivasi kuat untuk menyukseskan ekspedisi Borobudur yang akan dijalaninya.

* * *
HARI masih pagi. Ketika itu tanggal 13 Agustus 2003, di salah satu ruangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta. Terjadi dialog atau malah bisa dikatakan perdebatan sengit antara petugas British Council dan panitia dari Depbudpar Indonesia. Instansi dua negara ini memang menjadi promotor dan sponsor utama Ekspedisi Borobudur. Perdebatan terfokus pada pemilihan Mujoko dan Niken yang ditetapkan sebagai ABK tetap yang akan mengikuti kapal mulai dari Jakarta menuju Ghana. Pembicaraan lain tentang siapa di antara awak kapal lain yang berangkat duluan untuk trip I Jakarta – Seychelles.

Di Youth Hotel di kawasan Ancol Jakarta Utara, yang menjadi ”karantina” 10 pemuda ABK yang terpilih lewat seleksi menyiapkan diri baik fisik maupun mental mereka. Pemilihan hotel di Ancol karena pertimbangan jarak dengan Dermaga Marina Ancol, tempat Kapal Borobudur ditambatkan, relatif dekat. Hanya perlu hitungan menit untuk bisa sampai ke Marina.

Berita dari kantor Depbudpar diterima oleh penghuni Ancol melalui telpon tidak pernah utuh, sehingga menimbulkan isu-isu yang simpang siur. Berita pertama menyebutkan, trip pertama Jakarta - Seychelles akan membawa 3 dari 10 calon yang lolos seleksi, yaitu: Shierly, Niken dan Bayu. Tapi berita lain menyusul yang isinya bahwa yang berangkat adalah: Niken, Shierly dan Mujoko. Tentu berita-berita itu membingungkan.

”Kita mah pasrah aja yah..!” cetus Aziz dengan gaya kasnya, santai.

Yang kasihan adalah Bayu. Padahal Bayu telah packing dan menaruh bawaannya di kapal. Bayu terpaksa mengambil bawaannya untuk diturunkan lagi dari kapal setelah dirinya mendapat kabar tidak masuk dalam list awak kapal yang ikut trip I.

”Semoga kalian bisa menikmati makanan ini,” kata Bayu merelakan bungkusan kembang tahu kering, tempe-kacang, teri, dan dendeng sapi kepada Dirman, Sulhan dan Joko yang telah berada di atas kapal. Dirman, Sulhan dan Joko, menerima limpahan bekal makanan yang dibawa Bayu dengan gembira.
”Terima kasih, sobat...”

Niken yang namanya disebut untuk ikut pada trip I segera bersiap-siap dan mengepak bawaannya. Tapi ia minta izin untuk pulang sebentar ke Bandung mohon doa restu orang tua. Sedangkan Shierly bergegas meluncur untuk memenuhi undangan British Council.

Tanggal 14 Agustus 2003. Semua awak kapal termasuk sepuluh pemuda yang lolos seleksi, melakukan pelayaran. Tapi tujuannya bukan ke Seychelles, melainkan mengitari Pulau Bidadari di kawasan Kepulauan Seribu. Pelayaran ini bertujuan membuat dokumentasi berita gambar foto dan camera celoluid. Orang tua Kapten Putu Sudana dan wartawan Trans TV Jakarta ikut serta.

Sebelum memulai pelayaran, petugas dari Departemen Perhubungan melakukan pengecekan dan pengukuran kapal. Dari hasil pengukuran itu, petugas memberi kategori kapal dan memberi nama Kapal Samuderaraksa.

Terlihat sekali dominasi Nick Burningham dalam pelayaran mengitari Pulau Bidadari ini. Seperti halnya dalam dunia pecinta alam Indonesia, ketika ada senior ikut dalam kegiatan, maka dominasi senior akan terasa. Dan, Nick adalah ABK paling senior. Di mata debutan, peran Nick terasa menonjol sehingga terkesan serba tahu.

Pelayaran ini memang di luar agenda resmi. Kata Philip: kali ini semua awak kapal harus mengenakan kaos berwarna putih, di punggungnya bertuliskan ” Borobudur Expedition Indonesia to Africa 2003 “sumbangan dari Ibu Mimis (Direktur Paramitra Bahari). Semua awak siap-siap bergaya untuk diambil gambarnya dari kapal Phinisi milik Ibu Mimis yang sudah dikontak untuk bertemu di sekitar Kepulauan Seribu. Hasilnya? Gambar kapal Samudera Raksa dengan layar terkembang terekam bagus.

* * *
TETAP semangat…! Satu…dua.. tiga…, tarik…, satu… , dua… , tiga…, tarik…dst. Demikian teriakan Joko diikuti enam ABK di tengah-tengah upaya menaikkan layar. Teriakan itu baru berhenti ketika layar utama sudah terangkat naik di puncak tiang utama. Layar berwarna coklat (mirip seragam pramuka) berkibar angkuh, di tengah luasnya laut di perairan Kepulauan Seribu.

Angin berhembus dari star board (kanan kapal ketika posisi menghadap ke depan), sedangkan posisi layar berada di sebelah star port (kiri ketika menghadap ke depan). Haluan kapal diarahkan ke salah satu pulau dari kepulauan seribu.

Cukup lama kita berlayar dengan haluan yang tidak berubah.
“Kok nggak ada perahunya Bu Mimis, ya?” seru beberapa awak kapal sedikit kecewa setelah hampir mendekati pulau tempat disepakati untuk bertemu. Setelah jarak kapal ke daratan (lupa nama pulaunya…!) cukup dekat, diputuskan haluan kapal di balik, menuju tempat semula di Marina Ancol. Perlu taking alias balik layar. Posisi layar yang berada di sebelah kiri di ubah menjadi di kanan.

Sekitar seperempat jam berlayar menuju Ancol, tampak dari kejauhan sebuah kapal kayu berwarna hijau, berukuran jauh lebih besar dari Samudera Raksa, melaju perlahan. Kapal yang bisa dibilang cukup tua tersebut, bergerak mendekati Samudera Raksa dengan menggunakan motor penggerak. Layar yang ada tidak difungsikan. Dapat kami pastikan itu kapal milik Bu Mimis. Kapal tersebut memutar mencoba membuntuti Samuderaraksa.

”Lho...lho…lho…, kok Phinisi itu lambat banget setelah berada di belakang Samuderaraksa.”
”Sepertinya Phinisi tersebut mengalami kesulitan untuk mengejar Samudera raksa,” ucap kami hampir berbarengan sambil tertawa ngakak.. Padahal kapal Phinisi tersebut bertenaga mesin, nggak tahu pasti berapa ukuran mesinnya..!.

Haluan Samuderaraksa diputuskan untuk diubah agar angin bertiup dari muka dan samping sehingga kecepatan kapal berkurang untuk memberi kesempatan kapal Phinisi bisa menyusul.

Kapal Phinisi mulai bergerak menyusul dari sisi kanan star board. Toooooot….!., Alan menekan tabung kecil (horn) berwarna biru yang ujungnya terdapat terompet (horn air) yang melengking kencang. Ini merupakan isyarat salam dari ari awak Kapal Borobudur pada awak Phinisi.

Habibie yang saat itu memegang kemudi, tak bisa menahan gejolak hatinya. Perasaan deg-degan kian menjadi ketika jarak antarkapal kian dekat. Untungnya semua berjalan lancar seperti yang diharapkan.

Pukul 18.00 WIB kami merapat lagi di Marina Ancol. Di dermaga, selain panitia dari Depbudpar, juga ada Efendi Sulaiman, salah satu personel pelayaran kapal replika relief Borobudur tahun 1992. Efendi tak segan-segan menceritakan pengalamannya kepada para ABK.

Sore hari berikutnya, kami yang disertai orang tua masing-masing. bertemu Sapta Nirwandar, Sekjen Depbudpar yang juga Ketua Panitia Ekspedisi Kapal Borobudur. Saat itu kami memperoleh penjelasan tentang pelayaran, mulai dari rencana keberangkatan, siapa yang berangkat, hingga masalah pusat pengendalian terpadu (Puskodal). Selain Niken, Shierly dan Mujoko, ada tujuh calon ABK Borobudur yang menunggu panggilan untuk ikut pada leg berikut. Istilah leg disepakati sebagai istilah pengganti trip.
“Kalian yang terpilih akan kami hubungi,” papar Sapta Nirwandar, sembari menutup pertemuan.

Pukul 19.00 WIB, kami semua ikut pesta di Park Line Hotel Jakarta. Tak terkecuali para pendukung Ekspedisi Borobudur maupun ABK internasional. Raut wajah mereka terlihat cerah karena besok akan mulai pelayaran besar menuju Afrika.

Pesta baru berakhir tengah malam. Peserta pesta kembali ke hotel. Tapi bukan berarti tugas mereka sudah rampung. Sekitar pukul 24.00 WIB, Aziz dan Oscar mendapat tugas untuk membeli obat-obatan. Ini dilakukan karena beberapa jam sebelum pelayaran dimulai, persediaan obat-obatan di kapal sangat terbatas. Hari sudah larut malam kebanyakan apotik sudah tutup. Akhirnya di kawasan Jalan Salemba, semua persediaan obat-obatan yang diperlukan bisa didapat.

Sekembalinya di Youth Hotel, ternyata rekan-rekan Aziz dan Oscar beserta keluarga telah pindah ke Hotel Radin dalam kawasan Marina Ancol. Di Marina Ancol, tepatnya di depan Jakarta Fishing Club, Sapta, Bu Giri (dari Depbudpar), Kolonel (L) Subiyanto dan Kapten (L) Putu Sudana, begadang semalam suntuk memastikan kapal Samuderaraksa bisa merapat di dermaga buatan. Sebab, Presiden RI Megawati Soekarnoputri, mau meninjau kapal.

Terlihat sekali persiapan pengamanan dan keamanan dilakukan untuk menyambut kehadiran Ibu Presiden. Pasukan katak dari Satuan Marinir, Pampampres serta petugas keamanan lainnya mempersiapkan segala sesuatunya agar kunjungan RI-1 bisa berjalan aman dan lancar.

Hari yang dinanti dengan segala kecemasan dan kebahagiaan, akhirnya datang jua. Tanggal 15 Agustus 2003, atau dua hari menjelang peringatan ke-58 Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Ibu Megawati Soekarnoputri beserta Bapak Taufik Kiemas, datang dan meresmikan pelayaran Ekspedisi Borobudur dengan menggunakan kapal Samuderaraksa. Kapal Samuderaraksa adalah pemberian dari Ibu Megawatii Soekarnoputri.

Kendati telah dibangun “dermaga baru” untuk acara ini, tapi tetap saja Samuderaraksa tidak bisa sepenuhnya merapat. Masih ada jarak sekitar dua meter memisahkan antara badan kapal dengan dermaga. Sehingga pada saat peninjauan Presiden, dibutuhkan papan titian dan titian tali sebagai pegangan. Menteri Perdagangan Rini Suwandi (ketika itu) tampak “membimbing: Ibu Megawati ketika menaiki kapal.
Alhamdulillah, Bu Mega dan Bu Rini bisa selamat untuk kemudian melakukan peninjauan.

Semua awak dan pekerja lega ketika kapal Samuderaraksa diresmikan oleh Presiden RI. Para ABK yang tidak ikut dalam leg I bergegas kembali ke hotel sembari memanjatkan doa kepada Sang Pencipta, agar pelayaran bisa selamat sampai tujuan.

Ternyata…, Kapten Putu tidak ikut saat kapal dilepas.
“Lho…, kok nggak berlayar capt…,” tanya Ipang.
“Ntaa..r tanggal 17 Agustus menyusul,” sahut Kapten Putu Sudana tersenyum sambil menggamit lengan istri untuk masuk ke dalam kamar hotel.
“Wah…, kayaknya dia tak mau kehilangan kesempatan dua hari untuk berduaan bersama istri…,” kata beberapa ABK sambil tersenyum.

[Kangean.Net]